Bola, edisiana.com – Thomas Tuchel dan Chelsea tengah merayakan kemenangan di Stadion Porto. Mereka bernyanyi bersama lagu Champion.
Di tengah kegembiraan itu, Pep Guardiola berjalan lurus melewati trofi Liga Champions tanpa meliriknya sedikitpun. Dia terus menunduk sambil memegang mendali runner-up di tangannya.
Manchester City hanya sebagai runner-up usai dikalahkan 1-0 di final Liga Champions pada Ahad dinihari tadi.
Terakhir kali Pep Guardiola mengangkat trofi itu 10 tahun silam. Saat bersama Barcelona.
Dalam pikiran Guardiola mungkin bercampuraduk. Antara amarah dan kekesalan. Tapi penyesalan yang lebih besar. Karena ujicoba dalam kesalahan menyusun pemain di final.
“Saya melakukan apa yang saya pikir merupakan keputusan terbaik (dengan pilihan saya),” kata Guardiola setelah pertandingan seperti dilansir ESPN.
Tetapi pelatih jenius, dan pemenang dua kali Liga Champions itu memiliki kebiasaan memilih waktu dan tempat yang salah untuk bereksperimen.
Sebaliknya, Tuchel-lah yang mengambil manfaatnya. Dengan susunan pemain sederhana dan tetap menggunakan metode yang telah dicoba dan diuji.
Di stadion tempat saingan lama Guardiola Jose Mourinho membangun tim pemenang Liga Champions pertamanya.
Chelsea menggunakan permainan serangan balik. Untuk memukul knockout ke City yang ketiga kalinya dalam waktu kurang dari dua bulan.
Gol pada menit ke-42 Kai Havertz memanfaatkan lubang menganga di pertahanan City sebelum mengecoh gawang Ederson untuk mencetak gol. Dan sudah cukup untuk mengirim Piala Eropa ke Stamford Bridge.
Juara Inggris untuk ketiga kalinya dalam empat musim, awalnya difavoritkan untuk menang di Portugal. Meskipun menderita kekalahan Liga Premier dan Piala FA baru -baru ini melawan Chelsea.
Taktik Guardiola dirancang agar City bisa mencetak gol lebih awal, dan menguasai bola. Namun celah itu yang dimanfaatkan Chelsea.
Pada laga ini Pep Guardiola terlalu banyak melakukan perubahan. Baik dalam hal personel yang membuat para pemain tidak yakin apa yang harus dilakukan.
Untuk kedua kalinya musim ini, City bermain tanpa gelandang bertahan; Fernandinho dan Rodri. Sebagai pemain pengganti Ilkay Gundogan yang menghabiskan sebagian besar musim ini sebagai gelandang serang.
Dia dipilih untuk mengisi kekosongan di depan empat bek. Mantan pemain Borussia Dortmund kalah dengan penyerang energik Chelsea, Havertz, Mason Mount dan Timo Werner .
Begitu juga penyerang tengah Sergio Aguero dan Gabriel Jesus juga di bangku cadangan. Guardiola memilih Bernardo Silva dan Raheem Sterling yang sedang tampil buruk .
Pilihan Bernardo dirancang untuk memberi City pemain kreatif tambahan untuk menjaga Chelsea tetap bertahan.
Lalu Sterling, yang posisinya di sebelah kiri membawa Phil Foden menjauh dari posisi di mana dia begitu efektif dalam beberapa pekan terakhir. Sterling juga tidak bisa membantu menyelesaikan permainan.
Kalau bisa disalahkan dari semuanya, adalah keputusan Guardiola untuk menempatkan Kevin De Bruyne sebagai pemain nomor sembilan palsu.
Pemain terbaik City keluar dari peran lini tengah favoritnya dan membuatnya tampak bingung di mana tepatnya dia seharusnya bermain.
Dan langsung berjadapan dengan Antonio Rudiger pada saat yang sama memaksa De Bruyne mundur. Serta tidak membuat ruang gerak leluasa.
Bahkan kehilangan Thiago Silva karena cedera sebelum turun minum harusnya bisa dimanfaatkan.
Tapi sebaliknya. Pemain Tuchel malahan bagus, dengan N’Golo Kante yang luar biasa mendominasi permainan dan pantas memenangkan penghargaan man-of-the-match.
Sementara Tuchel telah memenangkan Liga Champions dalam waktu empat bulan setelah menggantikan Frank Lampard di Stamford Bridge.
Akhirnya dengan kekalahan ini penantian City berlanjut untuk meraih piala Liga Champions. Guardiola, yang pembuat perbedaan dalam kompetisi ini, tetapi menjadi rentan tersandung di momen yang salah.
“Ini pertama kalinya kami berada pada tahap ini. Mudah-mudahan kami akan berada di sini lagi di masa depan,” kata Guardiola. (maq)